Jumat, 29 Mei 2009

50 Persen Dosen Berkualifikasi Guru SD



Pengantar
Mengharap kualitas pendidikan yang bagus, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia, tampaknya sulit. Sebab, kualifikasi dosen yang mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguan tinggi swasta (PTS), memprihatinkan, yakni 50 persen masih berkualifikasi S1.
Bahkan, khusus untuk PTS, masih 60 persen yang berkualifikasi S1 atau sama dengan kualifikasi guru sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah. Padahal, Undang-undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan dosen yang mengajar pada perguruan tinggi minimal S2. Masalah tersebut disorot oleh wartawan SPEko B Harsono dan Willy Masaharu dalam tulisan berikut ini.
D
alam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kerap menyatakan keinginannya agar perguruan tinggi memasang target menjadi universitas kelas dunia (world class university). Target itu memang sangat ideal, tetapi, apakah bisa dicapai?

Beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, memang sudah masuk dalam daftar perguruan tinggi terbaik di dunia, meskipun masih di urutan ke sekian. Demikian halnya dengan swasta, ada sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) yang kualitasnya bisa diandalkan dan bisa setara dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Tetapi, data yang dimiliki Litbang Depdiknas menunjukkan, dari 120.000 dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, masih ada 50,65 persen atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2 atau baru S1. Dari data itu juga tergambar betapa buruknya kualifikasi dosen PTS.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof Dr Suharyadi sendiri mengakui, kualitas dosen PTS di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Bahkan diakui, masih ada 60 persen yang berkualifikasi S1.
Padahal, Undang-undang (UU) 14/2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan dosen perguruan tinggi minimal S2. Dalam UU itu disebutkan, para pendidik jenjang pendidikan dasar dan menengah persyaratannya adalah minimal bergelar S1.
Sementara, untuk mendidik di jenjang pendidikan akademis S1, maka sekurang-kurangnya bergelar strata dua (S2), sedangkan bagi program pascasarjana adalah doktor (S3) dan profesor. Ironisnya, kondisi ini terus terjadi dan mimpi besar world class university bakal menjadi pepesan kosong jika tidak segera dibenahi.
Kondisi Perguruan Tinggi kita yang ternyata lebih 50 persen dosen yang mengajar hanya setara guru SD dan SMP sesungguhnya juga disadari oleh Mendiknas. Keberadaan tenaga pengajar yang juga belum sepenuhnya berdedikasi dan berkualitas pada perguruan tinggi, juga menjadi kendala bagi sejumlah perguruan tinggi dalam memperoleh world class university.
Mendiknas misalnya mencontohkan kasus yang terjadi pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. "Dari 20 standar, ada satu standar yang belum dipenuhi untuk menjadikan program studi tersebut berkelas internasional, yakni dosen-dosennya yang belum sepenuhnya PhD, dan belum banyak melakukan penelitian," ungkap Mendiknas dalam suatu kesempatan.
Guru besar emeritus Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Prof Dr HAR Tilaar dalam percakapan dengan SP baru-baru ini menyatakan khawatir, jika pemerintah membiarkan kondisi dosen PTS dan PTN seperti ini yang kualifikasi tenaga pengajarnya masih jauh dari harapan. Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja, maka PTN maupun PTS akan menjadi pabrik pengangguran, karena dosennya tidak kompeten dan rendah mutunya.
"Analoginya kalau dosen rendah mutunya pasti mahasiswanya lebih parah lagi," tukasnya.
Dikatakan, para pengelola PTS atau pun PTN tidak boleh menutup mata dan membiarkan kualitas dosen yang rendah dibiarkan terjadi. Tetapi, khusus untuk swasta, memang mau tidak mau, mereka pun harus mengikuti amanat UU Guru dan Dosen.
"Mereka juga harus mendorong dosen mau kuliah dan belajar lagi. Rendahnya mutu dosen PTS juga disebabkan PTS tidak berani mensyaratkan bahwa dosen Perguruan Tinggi," katanya.
Suharyadi mengakui bahwa kualitas dosen PTS memang jauh di bawah standar, karena sekitar 60 persen belum berpendidikan S-2. Kualifikasi dosen PTS yang 60 persen baru S1 tersebut, tentu saja menjadi hambatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, khususnya mutu dosen di PTS, selalu terhambat.
Tanggung Jawab
Selain itu, pemerintah selalu bergeming dengan minimnya anggaran pendidikan, sehingga sangat sulit dalam memberikan 'dana segar' kepada PTS, dalam upaya peningkatan kualitas PTS, baik dari sisi sarana prasarana maupun dosen. "Karena itu, pada 2009 nanti, ketika anggaran pendidikan sudah 20 persen, kita ingin ada perhatian lebih pemerintah, dalam peningkatan kualitas dosen PTS. Pemerintah harus bertanggung jawab dan konsisten dalam menjalankan UU Guru dan Dosen,'' ujar Suharyadi.
Artinya, ujar Suharyadi, pemerintah harus memiliki rencana program yang matang, dalam peningkatan kualitas dosen PTS, dalam jangka waktu lima tahun ke depan, khususnya dalam meningkatkan kualifikasi pendidikan dosen minimal S-2 secara bertahap.
"Ini yang akan kami sampaikan secara resmi nanti ke pemerintah, khususnya Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Fasli Jalal), bahwa Aptisi meminta langkah pemerintah secara konkret dalam 5 tahun ke depan, untuk peningkatan mutu dosen PTS, tidak hanya berdiam diri,'' kata Suharyadi seraya mengakui bahwa Aptisi juga mendorong kepada seluruh anggotanya, terutama pengelola PTS agar bertanggung jawab atas peningkatan kualifikasi dan kualitas dosen tersebut.
Jika ini masih terjadi, berarti pemerintah dan pengelola PTS dan PTN melanggar UU. "Sungguh memprihatinkan kalau sekarang ini ternyata mahasiswa kita diajar oleh dosen yang kemampuan dan kapasitasnya setara dengan guru SD dan SMA," tukas Surhayadi.
Seharusnya pemerintah menetapkan regulasi dan ketentuan yang lebih jelas, sehingga PTS harus mensyaratkan dosennya berpendidikan S2. Selain itu, tentunya fasilitas, sarana dan prasarana harus ditingkatkan.
"Di Eropa dan Amerika, yang namanya dosen itu ya doktor. Siswa SMA saja gurunya master. Jika ini dibiarkan terjadi maka hal sama saja pemerintah terus membuat daya saing perguruan tinggi kita rendah" ujarnya.
Hal senada dikatakan Koordinator Education Forum, Suparman yang melihat buruknya mutu lulusan tidak lepas dari kondisi objektif perguruan tinggi itu sendiri. Menurutnya, secara umum kondisi objektif perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari mutu yang ideal. Hasil survei Asiaweek menunjukkan daya saing perguruan tinggi di Indonesia rendah. Sangat sedikit perguruan tinggi yang mampu masuk kategori 20 besar di kawasan Asia.
Tiga tugas luhur itu sudah lama ditinggalkan perguruan tinggi kita. Ditambahkan, perguruan tinggi juga masih terjebak dalam membuka program studi baru sering tidak dibarengi sarana prasarana, kualifikasi dosen, laboratorium, dan perpustakaan yang minim.
Akibatnya jelas fatal, meskipun secara nasional, kini Indonesia memiliki 82 PTN dengan 3.051 program studi dan 2.561 PTS dengan 10.287 program studi, ternyata sangat sedikit program studi yang bermutu. Hampir semua perguruan tinggi masih berorientasi sebagai "perguruan tinggi tukang mengajar" yang tentu saja kegiatan rutinnya hanyalah transfer pengetahuan dengan proses belajar tatap muka dengan kualitas pembelajaran ala kadarnya.
10 Tahun
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal Pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan sertifikasi pada dosen sebesar 10 persen tiap tahun.
Diharapkan, kepada dosen yang jumlahnya sekitar 120.000, sudah disertifikasi dalam waktu 10 tahun ke depan.
Fasli mengatakan, dengan dilakukannya sertifikasi dosen pada 120.000 dosen dalam waktu 10 tahun tersebut, akan tercipta profesionalisme dan kesejahteraan dosen, sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
"Ini kita lakukan secara bertahap, karena anggaran pendidikan di Dikti, tidak hanya fokus pada sertifikasi dosen semata," ujar Fasli.
Dituturkan Fasli, saat ini jumlah dosen yang tercatat, baik yang berada di PTN maupun PTS, jumlahnya sekitar 120.000. Sedangkan yang tidak tercatat sekitar 10.000. Dari 120 ribu dosen yang tercatat, sebanyak 70.000 berstatus PNS (60.000 mengajar di PTN, dan 10.000 mengajar di PTS), dan 50.000 berstatus swasta. * (9 September 2008)

Sumber :
29 Mei 2009
Sumber Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar